KLONING
Dalam bukunya yang
berjudul Problem Etis Kloning Manusia, CB. Kusmaryanto, SCJ mengungkapkan bahwa
istilah ‘Kloning’ berasal dari kata Klon (Yunani) yang artinya: tunas. Oleh karena
itu, secara sederhana, kloning dapat dipahami sebagai suatu metode reproduksi
biologis tanpa menggunakan sel seks (reproduksi aseksual). Reproduksi aseksual
adalah reproduksi yang terjadi tanpa peleburan sel sperma dan sel telur.
Cara-cara reproduksi ini dapat dilakukan dengan membelah diri ataupun dengan
model stek pada tanaman singkong. Dalam bioetika,
kloning dipahami sebagai sebuah bentuk usaha menciptakan replika gen yang
memunculkan organisme sama persis dengan organisme induknya. Reproduksi dengan
cara kloning ini akan menghasilkan organisme dengan informasi genetik sama. Ada
3 macam cara untuk melakukan reproduksi dengan kloning:
ü embryo splitting (pemisahan embrio)
Pemisahan
embrio ini dilakukan pada embrio biasa (peleburan sel sperma dan sel telur)
ketika memasuki tahap pre-nidasi, yakni ketika embrio memiliki sifat
totipotent. Pada tahap ini, embrio terdiri dari 8 sel yang memiliki kemampuan
untuk berkembang menjadi individu. Apabila ke-8 sel itu dipisahkan, maka akan
menjadi 8 individu. Pada tahap itulah sel-sel tersebut dipisahkan sehingga akan
menghasilkan 8 individu yang memiliki kesamaan genetis. Hal ini terjadi juga
dalam kasus anak kembar dimana satu sel telur yang telah dibuahi menjadi dua
individu karena proses pemisahan pada tahap totipotent tesebut.
ü Recombinant DNA Technology
Recombinant DNA Technology adalah cara mengklon organisme dengan menggabungkan gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Vektor ini bisa plasmide, bacteriophage, Yeast Artificial Cosmide, dll. DNA baru yang disebut sebagai recombinant DNA sekurang-kurangnya harus terdiri dari dua bit DNA, yakni gen dan vektornya, lalu sesudahnya diletakkan dalam organisme yang cocok, misalnya bakteri atau ragi. Perpaduan antara gen dan vektor ini akan mengalami pembiakan di dalam organisme tersebut sehingga terjadi kloning sel. Sel-sel ini memiliki gen yang sama.
Recombinant DNA Technology adalah cara mengklon organisme dengan menggabungkan gen yang akan diklon dengan sebuah vektor. Vektor ini bisa plasmide, bacteriophage, Yeast Artificial Cosmide, dll. DNA baru yang disebut sebagai recombinant DNA sekurang-kurangnya harus terdiri dari dua bit DNA, yakni gen dan vektornya, lalu sesudahnya diletakkan dalam organisme yang cocok, misalnya bakteri atau ragi. Perpaduan antara gen dan vektor ini akan mengalami pembiakan di dalam organisme tersebut sehingga terjadi kloning sel. Sel-sel ini memiliki gen yang sama.
ü Somatic Cell Nuclear Transfer
Somatic Cell Nuclear Transfer adalah metode kloning dengan menggunakan inti sel somatic (nukleus sel somatic) yang ditanamkan ke dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya. Setelahnya, sel tersebut dirangsang dengan listrik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan sel tersebut. Ternyata sel tersebut mampu berkembang menjadi embrio yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim binatang/wanita yang sudah dipersiapkan secara biologis untuk dapat menerima dan mengembangkan embrio kloning. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan Dolly (kloning pada biri-biri). Secara genetis, embrio baru itu memiliki gen yang sama dengan induknya (gen dalam nukleus somatic sel yang telah ditanamkan dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya ).
Somatic Cell Nuclear Transfer adalah metode kloning dengan menggunakan inti sel somatic (nukleus sel somatic) yang ditanamkan ke dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya. Setelahnya, sel tersebut dirangsang dengan listrik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan sel tersebut. Ternyata sel tersebut mampu berkembang menjadi embrio yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim binatang/wanita yang sudah dipersiapkan secara biologis untuk dapat menerima dan mengembangkan embrio kloning. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan Dolly (kloning pada biri-biri). Secara genetis, embrio baru itu memiliki gen yang sama dengan induknya (gen dalam nukleus somatic sel yang telah ditanamkan dalam sel telur yang telah dibuang inti selnya ).
Jenis Kloning :
Pembagian jenis kloning ini berdasarkan tujuan dari tindakan membuat kloning. Kedua jenis kloning tersebut adalah:
Reproductive
Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan reproduksi. Kloning jenis ini
pertama-tama bertujuan untuk mendapatkan keturunan, atau mengadakan pertambahan
jumlah organisme. Kloning demi tujuan reproduksi ini menjadi menarik bagi
orang-orang yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan. Di samping itu,
kloning demi tujuan reproduksi ini juga menarik perhatian para pelaku industri.
Dengan ditemukannya teknologi kloning untuk kepentingan reproduksi, berarti
membuka peluang untuk mengembangkan industri reproduksi manusia, hewan, maupun
tumbuhan demi kepentingan bisnis.
Therapeutic
Cloning: Kloning yang diadakan demi tujuan pengobatan. Therapeutic Cloning ini
berhubungan erat dengan proses mendapatkan stem sell yang akan digunakan dalam
berbagai macam pengobatan. Kloning dengan tujuan pengobatan ini pertama-tama
tidak menginginkan hadirnya organisme baru yang memiliki kesamaan genetis dengan
induknya, melainkan memanfaatkan stem sel dari embrio klon yang tidak
diimplantasikan ke dalam rahim. Singkatnya, Kloning jenis ini adalah kloning
untuk mendapatkan embryonic stem cell dari embrio hasil kloning.
Kaitan Antara Stem Sel dan Kloning
Dengan adanya penemuan tentang Stem
Sel demi kemajuan teknologi pengobatan, para ahli mencoba melanjutkan
penelitian mengenai reproduksi stem sel (khususnya embryonic stem cell). Hal
ini didukung oleh penemuan teknologi kloning. Para peneliti bioteknologi mulai
mengembangkan kloning demi memperoleh dan mereproduksi embryonic stem cell.
Dengan menggunakan metode kloning, embryonic stem cell yang didapatkan akan
memiliki kesamaan genetis dari induk biologisnya. Hal ini dipandang oleh para
ahli sebagai sebuah penemuan yang pesat dalam bidang pengobatan. Dengan
memiliki kesamaan genetis, stem cell yang digunakan untuk mengganti atau
memperbaiki jaringan yang rusak karena penyakit tentu memiliki prospek
keberhasilan yang cukup signifikan.
Pandangan Bioetika terhadap Stem Sel dan Kloning dan Teknologi Stem Sel
Penemuan teknologi Stem
sel dan kloning telah mengejutkan komunitas ilmuwan dan masyarakat pada
umumnya. Penemuan teknologi ini setidaknya memicu banyak kontroversi dalam bidang
bioetika. Pada tahun 1999, di Amerika Serikat, Presiden Bill Clinton meminta
pada National Bioethics Advisory Commision (NBAC) untuk mempelajari
permasalahan ini. Selain itu, banyak kalangan religius Amerika yang menyatakan
penolakannya atas tindakan penciptaan embrio dan perusakan embrio demi
penelitian tentang stem sel dan kloning ini. Sementara itu, penemuan ini pun
memicu para ahli etika untuk mempelajari lebih lanjut tentang stem sel dan
kloning dalam kaitannya dengan tanggungjawab etika moral secara umum.
Pada bulan November 1998 Presiden Bill Clinton meminta pada National Bioethics Advisory Commission untuk turut memikirkan dan memperhatikan persoalan tentang penelitian embryonic stem cell. Pada tanggapannya terhadap Panel Penelitian Embrio Manusia (Human Embryo Research Panel) yang diadakan pada tahun 1994, Presiden mengatakan bahwa meski beliau dapat mengabsahkan penelitian terhadap embrio demi tujuan reproduksi melalui IVF (in vitro fertilization), beliau tidak dapat mengabsahkan penggunaan IVF untuk menciptakan embrio demi tujuan penelitian. Namun pada tahun 1998, akhirnya presiden Bill Clinton mengindikasikan bahwa beliau mengabsahkan penggunaan kloning melalui somatic cell nuclear transfer (SCNT) dalam menciptakan embrio demi tujuan penelitian. Hal ini tertuang dalam Statement of Administration Policy pada tahun 1998 yang mengatakan bahwa tidak dilarang untuk menggunakan SCNT sel manusia demi mengembangkan teknologi stem sel yang berguna bagi pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit yang serius.
Kebijakan pemerintah Amerika Serikat melalui presiden Bill Clinton tentang penelitian embryonic stem cell ini memicu beberapa pertanyaan sekaligus kritik dari para ahli etika. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain: (1) Bagaimana para pembuat kebijakan tersebut memandang dan berbicara tentang hubungan antara penelitian human embryonic stem cell dengan penelitian embrio? (2) Bagaimana argumen para pembuat kebijakan tersebut tentang penelitian embrio secara terbatas? (3) Bila secara umum penelitian embrio secara terbatas itu dapat diterima, apakah tujuan awal dari para pembuat embrio ini telah membuat suatu perbedaan nilai moral? Dengan kata lain, apakah masuk akal jika mengabsahkan penelitian pada embrio yang akan dibuang, namun menolak penelitian dalam menciptakannya? (4) Apakah masuk akal jika mengabsahkan SCNT untuk menciptakan embrio demi penelitian namun menolak IVF demi tujuan yang sama? (5) Jika penggunaan SCNT pada manusia untuk menciptakan embrio demi penelitian itu diterima, akankah penggunaan SCNT pada sel manusia dan hewan dapat diterima demi tujuan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar para ahli bioteknologi dan etika dalam perdebatan panjang mengenai legalitas penelitian penciptaan embrio demi memperoleh embryonic stem cell. Argumen dari para ahli bioteknologi mengatakan bahwa embryonic stem cell bukanlah embrio dan dengan demikian penelitian itu absah. Tapi bagaimanapun juga embryonic stem cell dihasilkan dengan merusak embrio. Dengan demikian, segala bentuk perusakan terhadap embrio, demi tujuan penelitian yang baik sekalipun, tidak dapat dibenarkan secara moral. Untuk itu, pemahaman yang akurat mengenai hubungan antara embryonic stem cell dan penelitian penciptaan embrio harus dimiliki demi mengadakan penilaian moral terhadap teknologi embryonic stem cell, baik itu yang dilakukan dengan cara IVF maupun SCNT. Selain itu, para pembuat kebijakan hendaknya juga memahami proses SCNT yang juga mampu menciptakan embrio secara klon. Apa yang terjadi dalam SCNT juga merupakan suatu penelitian yang menciptakan embrio. Apakah menggunakan SCNT demi memperoleh embryonic stem cell yang juga merusak embrio hasil SCNT dapat dibenarkan secara moral?
Perdebatan juga berlanjut pada persoalan tentang penggunaan sisa embrio hasil IVF demi tujuan mendapatkan stem sel dan pelarangan penggunaan IVF demi mendapatkan embryonic stem cell. Apakah tujuan akhir dari suatu perbuatan merusak embrio dapat meringankan beban moral atas perusakan tersebut? (demi tujuan reproduksi dan atau mendapatkan embryonic stem cell). Bukankah penciptaan embrio dengan menggunakan metode IVF itu pun dapat diabsahkan secara moral jika akhirnya menyisakan embrio-embrio yang tidak terpakai dan dibuang/atau digunakan untuk penelitian demi mendapatkan embryonic stem cell? Dan juga apakah sungguh dapat dibenarkan secara moral jika mengadakan penelitian dan produksi embryonic stem cell demi tujuan yang mulia sekalipun yakni demi keuntungan medis semata? Apa yang tidak dapat dibenarkan secara moral dalam usaha mendapatkan embryonic stem cell adalah perusakan embrio. Sebab embryonic stem cell tidak bisa diperoleh tanpa merusak embrio, baik itu embrio yang dihasilkan melalui IVF maupun SCNT (kloning model somatic nuclear transfer).
Berikut ini adalah salah satu contoh perdebatan yang muncul seputar problem etika moral atas teknologi stem sel dan kloning. Meski tujuan dan manfaat dari penelitian tentang stem sel maupun kloning sungguh amat menjanjikan bagi kemajuan bidang pengobatan, namun tindakan menciptakan embrio pada manusia dan kemudian merusak serta memutus pertumbuhan normalnya sebagai individu baru sungguh tidak dapat dibenarkan secara etis dan moral. Satu-satunya penelitian dan penggunaan stem sel yang dapat dibenarkan secara moral dan tidak melanggar hak hidup embrio adalah penggunaan somatic stem cell. Meski demikian hendaknya penelitian ini tepat menerapkan informed consent dari para pendonor somatic stem cell.
Pandangan Bioetika terhadap Teknologi Kloning
Penelitian tentang kloning pada hewan dan manusia ini telah diadakan sejak tahun 1975 melalui keberhasilan Dr. John Gurdon dalam mengklon katak. Keberhasilan ini tentu memicu penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan penerapan teknologi kloning ini pada hewan lain dan manusia. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1993, dua peneliti Amerika, Jerry L. Hall dan Robert J. Stillman dari Universitas George Washington mengumumkan hasil kerjanya tentang kloning manusia dengan menggunakan metode embryo splitting (pemisahan embrio ketika berada dalam tahap totipotent) atas embrio yang dibuat secara in vitro fertilization (IVF). Dari proses embryo splitting tersebut, Hall dan Stillman mendapatkan 48 embrio baru yang secara genetis sama persis.18 Penelitian terhadap kloning ini pun tetap berlanjut. Pada tanggal 23 Februari 1997, Dr. Ian Wilmut dan kawan-kawan peneliti dari Roslin Institute di Edinburg (Skotlandia) mengumumkan dalam majalah Nature bahwa ia telah berhasil mengklon biri-biri yang diberi nama Dolly. Metode kloning yang digunakan untuk mengklon biri-biri tersebut adalah metode somatic cell nuclear transfer (SCNT).
Atas penemuan-penemuan
baru dalam teknologi kloning ini, berbagai kalangan mereaksi dengan keras bahwa
jika teknologi ini diterapkan pada manusia, maka teknologi kloning sungguh
tidak dapat dibenarkan secara moral. Teknologi kloning pada manusia akan
menimbulkan begitu banyak persoalan etis dan moral yang amat serius. Salah satu
contoh pelarangan teknologi kloning pada manusia muncul dari National Bioethics
Advisory Commision (Amerika Serikat) yang menyatakan bahwa: “Untuk saat ini,
secara moral tidak dapat diterima bila seseorang mencoba untuk menciptakan anak
dengan mempergunakan teknik somatic cell nuclear transfer cloning, baik secara
pribadi maupun secara umum, baik dalam lingkup riset maupun dalam lingkup
klinis”.19 Hal yang sama
juga terjadi di Parlemen Uni Eropa yang melarang setiap negara anggotanya
melakukan kloning terhadap manusia. Meski demikian, perdebatan mengenai kloning
pada manusia masih terus berlanjut. Sampai saat ini, umum diterima bahwa
kloning pada manusia adalah tidak benar secara moral karena melanggar hak asasi
dan martabat manusia, selain juga membahayakan terhadap kelangsungan genetis
manusia.
Beberapa permasalahan yang memberatkan dilakukannya kloning pada manusia antara lain: (1) Kloning pada manusia melanggar martabat manusia yang unik sebagai individu keturunan manusia (buah cinta dari laki-laki dan perempuan). Manusia hasil kloning merupakan kopian dari induk biologisnya yang memiliki kesamaan genetis sama persis; (2) Melanggar hak hidup manusia. Embrio hasil kloning akan tumbuh juga menjadi manusia, namun ketidakjelasan identitas dan keutuhannya sebagai manusia dari sel sperma dan sel telur telah didegradasikan sedemikian rupa hanya demi tujuan produksi manusia, terlebih jika akhirnya kloning ini dibuat demi tujuan memperoleh human embryonic stem cell; (3) Teknik yang dipakai dalam kloning manusia sungguh tidak aman dan efektif. Hal ini justru dapat merendahkan martabat manusia karena resiko kerusakan masih sangat tinggi. Hal ini tidak etis karena hasil yang akan dicapai dengan program itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan resiko kerusakan yang dihasilkan oleh teknik kloning tersebut; (4) Erosi Kehidupan Keluarga. Dengan teknik kloning manusia, berarti kehidupan keluarga mengalami degradasi makna, sebab anak dari kloning dapat dibuat tanpa sel sperma dari ayahnya, atau tidak pernah memiliki ibu biologis yang jelas. Di samping juga persoalan psikologis yang akan muncul dalam relasi antara anak hasil kloning dengan induk biologisnya; (5) Pelanggaran terhadap martabat prokreasi. Prokreasi terjadi dengan adanya persatuan seksualitas manusia antara laki-laki perempuan secara natural (ada hubungan seksual). Teknik kloning mengabaikan itu semua; (6) Hak untuk dikandung secara natural. Setiap individu memiliki hak untuk dikandung secara natural oleh ibunya. Dalam kloning, terbentuknya embrio terjadi dibawah rekayasa manusia (tidak secara natural), dan terjadi tidak di dalam rahim seorang perempuan; (7) Melanggar hak atas indentitas individu dan keunikannya. Anak hasil kloning tidak memiliki keunikan identitas genetisnya. Ia merupakan kopian dari pribadi yang membuat kloning atas dirinya; (8) Eugenic: usaha manusia dalam memperoleh keturunan unggul dengan merekayasa gen dan menciptakan pribadi-pribadi yang telah terekayasa; (9) Manusia sebagai objek. Dalam kloning, amat jelas bahwa manusia yang dihasilkan dengan menggunakan metode kloning ditempatkan sebagai objek reproduksi dan penelitian semata; (10) Mempermiskin faktor keturunan. Kloning tidak menambah kemungkinan baru dalam keturunan manusia karena berasal dari gen yang sama (hanya merupakan kopian gen); (11) Ketidakadilan Sosial. Biaya yang dibutuhkan dalam kloning tentu akan sangat besar, dan hanya orang-orang kayalah yang mampu membuat kloning. Hal ini tentu akan semakin memperlebar jurang antara orang kaya dan orang miskin.
Pandangan Etika Moral Gereja tentang Stem Sel Embrio Manusia dan Kloning Manusia
Pandangan Etika
Moral Gereja dalam menanggapi persoalan Stem Sel Embrio Manusia dan Kloning
pada manusia kiranya amat jelas bahwa Gereja menolak segala macam bentuk
pembunuhan terhadap manusia (sekalipun manusia itu masih dalam tahap embrio).
Dengan demikian, sikap Gereja amat jelas akan menolak teknologi human embryonic
stem cell karena didapatkan dengan membunuh embrio. Hal ini dapat disamakan
dengan pelanggaran moral sebagaimana terjadi dalam tindakan aborsi. Sikap Gereja
berkaitan dengan kloning pun senada dengan penolakannya terhadap teknologi
human embryonic stem cell. Dengan jelas kloning pada manusia telah mengingkari
martabat prokreasi dan keunikan identitas manusia sebagai pribadi yang
bermartabat di hadapan Allah. Beberapa sikap Gereja tersebut didasarkan pada
pokok-pokok ajaran tentang hidup dan martabat manusia yang adalah seorang
pribadi, sebagai berikut:
Dasar Alkitabiah Mengenai Human Cloning dan Human Embryonic Stem Cells
Salah satu sumber inspirasi
iman, sikap moral dan etika Gereja adalah Alkitab. Bagi Gereja, Alkitab
merupakan refleksi iman terhadap Allah yang mau terlibat dalam sejarah
keselamatan manusia di dalam Yesus Kristus. Dalam setiap langkah hidupnya,
Gereja selalu dihidupi oleh refleksi iman tersebut yang akan menghantar setiap
umat beriman kepada pengalaman akan Allah yang sungguh-sungguh terlibat dalam
hidup dan sejarah keselamatan manusia. Dalam menanggapi persoalan-persoalan
duniawi pun, Gereja senantiasa mempertanggungjawabkan imannya berdasarkan
refleksi iman yang telah tertuang dalam Alkitab. Melalui Alkitab pula umat Kristen
diajak untuk semakin mau mendengarkan intisari kehendak Tuhan dalam hidup ini,
termasuk ketika menanggapi persoalan-persoalan etis tentang perkembangan
teknologi manusia.
Dalam menanggapi persoalan tentang human embryonic stem cells dan kloning pada manusia, gereja mengajak kita untuk melihat dasar-dasar Alkitab yang melarang keras tindakan pembunuhan terhadap manusia (termasuk ketika manusia itu masih dalam wujud embrio). Beberapa perikop berikut merupakan ajaran dasar iman Kristen terhadap penghargaan hidup dan pribadi manusia:
v Kejadian 1-2.
Dalam teks
tersebut terungkap bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Oleh para pendukung
penelitian human embryonic stem cells, ayat ini digunakan sebagai salah satu
alasan bahwa teknologi dan penelitian tentang human embryonic stem cells ini
juga atas prakarsa Allah. Allah memberi kemampuan kepada manusia untuk membuat
kehidupan manusia ini semakin baik, termasuk menciptakan human embryonic stem
cells demi tujuan kemanusiaan. Namun kerangka pikir tentu tidak benar. Jika
menelaah lebih dalam, “ Segala sesuatu diciptakan oleh Allah”, maka manusia
yang masih berwujud embrio pun adalah ciptaan Allah. Teknologi human embryonic
stem cells dilakukan dengan merusak/membunuh embrio. Hal ini tentu bertentangan
dengan tindakan Allah yang menciptakan segala sesuatu. Campur tangan manusia
dalam menghentikan kehidupan dan perkembangan embrio (yang adalah ciptaan
Allah) demi tujuan kemanusiaan sekalipun merupakan bentuk pelanggaran terhadap
previlese Allah yang adalah pencipta segala sesuatu. Dengan demikian,
penciptaan embrio demi penelitian human embryonic stem cells telah melanggar
kehendak Allah Sang Pencipta segala sesuatu.
v Kejadian 1: 26-27.
Dalam teks ini
hendak dikatakan bahwa setiap manusia adalah citra Allah dan Allah tidak
membeda-bedakannya di antara manusia, entah itu manusia (sejak pembuahan hingga
kesudahannya) dewasa ataupun yang masih dalam tahap embrio. Dengan demikian,
teknologi human embryonic stem cells merupakan pelanggaran terhadap harkat
martabat manusia, bahkan sejak pembuahannya, karena dalam human embryonic stem
cells, manusia (yang berwujud embrio) terdiskriminasi dan tercabut hak hidupnya
demi mendapatkan stem cell bagi manusia lain.
v Keluaran 20 : 13.
Teks ini berisi perintah Tuhan yang melarang setiap
manusia melakukan pembunuhan atas sesamanya. Hak hidup dan hak mati sepenuhnya
berada di tangan Allah. Dengan demikian, teknologi human embryonic stem cells
(baik dilakukan secara in vitro fertilization maupun human somatic cell nuclear
transfer/cloning) bertentangan dengan perintah Tuhan dan melanggar hak hidup
manusia.
v Hakim-Hakim 13: 3-5; Ayub 3:3; Ayub 10: 8-12; Mzm 51:
5; Mzm 139:13-16; Yesaya 44: 2, 21, 24; 49:1; Yeremia 1:5 dan Galatia 1: 15-16.
Teks-teks berikut mengungkapkan kebenaran iman Kristen
tentang panggilan Allah sejak manusia dikandung ibunya (sejak pembuahan
terjadi). Setiap individu (bahkan dalam tahap embrio pun) telah memiliki alur
hidup yang telah direncanakan Tuhan untuknya. Dengan demikian, teknologi human
embryonic stem cells dan kloning pada manusia telah mengacaukan sekaligus
melanggar martabat panggilan manusia sejak dalam kandungan.
v Mzm 113:5-9.
Teks ini
mengungkapkan tentang pembelaan Allah terhadap orang-orang yang lemah dan
tersingkir. Allah telah berkenan dengan orang-orang yang hina itu. Dalam kasus
teknologi human embryonic stem cells dan kloning pada manusia, embrio merupakan
bagian dari individu/orang yang mendapatkan pembelaan Allah dan perhatian
Allah. Jika embrio itu dirusak/dibunuh demi kepentingan penelitian ataupun
kemajuan teknologi pengobatan, maka tindakan itu sama artinya dengan melawan
Allah sendiri yang telah berkenan mengasihi dan memelihara serta mengangkat
orang-orang yang hina, lemah dan tersingkir.
v Mat 7: 21-23.
Teks ini hendak mengatakan bahwa Tuhan Allah bukanlah Allah yang pragmatis
seperti manusia. Tindakan membunuh embrio demi mendapatkan stem cell ataupun
kloning demi mendapatkan keturunan adalah tindakan pragmatis yang berlawanan
dengan kehendak-Nya. Human embryonic stem cells dan kloning telah menampakkan
suatu pragmatisme manusia yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar